Ok, you have Lupus. What to do next?
Layaknya sebuah penantian sulit dan panjang, sebuah jawaban tentunya sangat melegakan. Ya, sangat sangat melegakan. Akhirnya, sakit selama ini memiliki sebuah nama. Walaupun pendek saja, tetap sebuah pencerahan. Saking leganya, saya cukup yakin kalau saat itu saya TIDAK terlalu menyimak penjelasan dokter selanjutnya. Salah banget..tolong jangan ditiru :)
Tapi begitulah..sebuah sindrom sepertinya. Semacam pepatah bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian yang diartikan apa adanya. Setelah sakit-sakitan, saya tak begitu peduli lagi dengan detil penyakit saya begitu kondisi mulai membaik. Yang penting senang-senang. Ya, setelah mendapatkan diagnosis, dokter langsung memberikan obat jenis prednisolone (steroid untuk menekan sistem kekebalan tubuh dan mengatasi peradangan) dengan dosis disesuaikan kondisi, ditambah pesan sederhana : makan sehat, olahraga teratur, cukup istirahat, jangan stress, banyak-banyak curhat dan rutin cek ke dokter. Ahh...familiar sekali pikir saya saat itu. Gampaaang...tak perlu kuatir.
Begitulah..seiring dengan konsumsi obat, kondisi saya mulai membaik dan ketebak..akhirnya lupa dengan si remaja Lupus. Lupa juga semua anjuran dokter. Tetaaap, rajin kontrol ke dokter setiap bulan dan setiap kali ditanya soal kebiasaan olahraga, tetap jawabnya iya dok, olahraga kok. Padahal anjurannya sederhana, 30 menit jalan cepat setiap hari, gak usah lari atau olahraga yang berat-berat. Nah!
Selama beberapa bulan semua lancar tak ada keluhan, sampai kebiasaan minum obat setiap hari pun jadi sering terlupa. Sempat 2 minggu tak minum obat (berawal lupa hingga akhirnya sengaja karena bosan dan merasa sehat), tiba-tiba saja saya merasakan sakit luar biasa pada lutut yang terjadi setiap kali saya naik tangga dan bangun dari duduk (entah itu setelah duduk dalam waktu lama atau sebentar). Awalnya saya tak begitu peduli, namun setelah beberapa hari mulai terpikir itu adalah gejala yang muncul akibat melewatkan obat selama beberapa waktu. Ya, sakit pada persendian merupakan salah satu gejala klasik. Padahal, saya belum pernah merasakan gejala ini sebelumnya.
Selebihnya tak banyak yang berubah. Dari kecil saya memang dikenal tergolong mudah dan sering sakit dalam keluarga. Tak parah, biasanya flu biasa, tapi sering. Dan di tahun pertama dengan Lupus, tak banyak yang berubah. Hanya beberapa kali flu biasa yang tak dipersoalkan. Barulah di tahun kedua, ia mulai unjuk gigi. Oh ya, jangan remehkan stress. Kondisi saya menurun drastis di tahun kedua akibat stress (bukan karena memikirkan Lupus) yang akhirnya menyebabkan kondisi flare (kambuh) hingga dirawat di RS selama 2 minggu. Diagnosisnya waktu itu adalah pneumonia berat dan TB. Jadilah saya harus meminum obat TB selama 9 bulan penuh setiap hari disertai penambahan dosis prednisolone dan berbagai obat penghilang rasa sakit lainnya. Urusan obat bisa memusingkan. Saya ingat, saat kondisi sedang parah, saya bisa menghabiskan 10 butir obat setiap kali minum (kalikan 3 dalam sehari = 30 butir). Kasihan, saya sampai ngomel dengan suster yang memberikan obat karena berpikir mereka seenaknya menyuruh saya menelan obat sebanyak itu. Not my glorious days indeed.
Episode itu sukses menyadarkan saya untuk mencari tahu lebih banyak soal Lupus dan menghadapinya. Mulailah episode me-googling dan mengumpulkan literatur sebanyak mungkin. Bertanya ke dokter sudah pasti, tapi dengan banyaknya jumlah pasien setiap kali kunjungan ke dokter, tentunya saya tak bisa duduk lama dan berharap dokter menjawab semua pertanyaan saya. Tak sekedar literatur seputar Lupus tentunya, tapi juga informasi penting lainnya untuk pasien dengan penyakit kronis. Oh, percayalah..ada begitu banyak informasi yang bisa membantu. Favorit saya sejauh ini memang kebanyakan berasal dari sumber asing yang banyak mengangkat tema dari kacamata pasien. Hal-hal yang mungkin sering terlewatkan macam: persiapan kunjungan ke dokter, mencari support system, menjelaskan soal penyakit Anda kepada keluarga/teman/kolega, hingga tips dan trik menghadapi musim hujan/dingin yang merupakan periode 'menyakitkan' bagi odapus dan mereka dengan penyakit kronis lainnya.
Oh ya...ada banyak harta karun di luar sana untuk ditemukan, tentunya bukan emas atau uang, tapi informasi berlimpah. Buat saya, itulah yang terpenting dilakukan selanjutnya setelah diagnosis datang. Ok, mungkin kedua terpenting setelah Anda menarik nafas lega karena keluar dari terowongan tak berujung. Seburuk apa pun itu, jika ia memiliki nama setidaknya patut untuk sedikit banyak disyukuri.
Layaknya sebuah penantian sulit dan panjang, sebuah jawaban tentunya sangat melegakan. Ya, sangat sangat melegakan. Akhirnya, sakit selama ini memiliki sebuah nama. Walaupun pendek saja, tetap sebuah pencerahan. Saking leganya, saya cukup yakin kalau saat itu saya TIDAK terlalu menyimak penjelasan dokter selanjutnya. Salah banget..tolong jangan ditiru :)
Tapi begitulah..sebuah sindrom sepertinya. Semacam pepatah bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian yang diartikan apa adanya. Setelah sakit-sakitan, saya tak begitu peduli lagi dengan detil penyakit saya begitu kondisi mulai membaik. Yang penting senang-senang. Ya, setelah mendapatkan diagnosis, dokter langsung memberikan obat jenis prednisolone (steroid untuk menekan sistem kekebalan tubuh dan mengatasi peradangan) dengan dosis disesuaikan kondisi, ditambah pesan sederhana : makan sehat, olahraga teratur, cukup istirahat, jangan stress, banyak-banyak curhat dan rutin cek ke dokter. Ahh...familiar sekali pikir saya saat itu. Gampaaang...tak perlu kuatir.
Begitulah..seiring dengan konsumsi obat, kondisi saya mulai membaik dan ketebak..akhirnya lupa dengan si remaja Lupus. Lupa juga semua anjuran dokter. Tetaaap, rajin kontrol ke dokter setiap bulan dan setiap kali ditanya soal kebiasaan olahraga, tetap jawabnya iya dok, olahraga kok. Padahal anjurannya sederhana, 30 menit jalan cepat setiap hari, gak usah lari atau olahraga yang berat-berat. Nah!
Selama beberapa bulan semua lancar tak ada keluhan, sampai kebiasaan minum obat setiap hari pun jadi sering terlupa. Sempat 2 minggu tak minum obat (berawal lupa hingga akhirnya sengaja karena bosan dan merasa sehat), tiba-tiba saja saya merasakan sakit luar biasa pada lutut yang terjadi setiap kali saya naik tangga dan bangun dari duduk (entah itu setelah duduk dalam waktu lama atau sebentar). Awalnya saya tak begitu peduli, namun setelah beberapa hari mulai terpikir itu adalah gejala yang muncul akibat melewatkan obat selama beberapa waktu. Ya, sakit pada persendian merupakan salah satu gejala klasik. Padahal, saya belum pernah merasakan gejala ini sebelumnya.
Selebihnya tak banyak yang berubah. Dari kecil saya memang dikenal tergolong mudah dan sering sakit dalam keluarga. Tak parah, biasanya flu biasa, tapi sering. Dan di tahun pertama dengan Lupus, tak banyak yang berubah. Hanya beberapa kali flu biasa yang tak dipersoalkan. Barulah di tahun kedua, ia mulai unjuk gigi. Oh ya, jangan remehkan stress. Kondisi saya menurun drastis di tahun kedua akibat stress (bukan karena memikirkan Lupus) yang akhirnya menyebabkan kondisi flare (kambuh) hingga dirawat di RS selama 2 minggu. Diagnosisnya waktu itu adalah pneumonia berat dan TB. Jadilah saya harus meminum obat TB selama 9 bulan penuh setiap hari disertai penambahan dosis prednisolone dan berbagai obat penghilang rasa sakit lainnya. Urusan obat bisa memusingkan. Saya ingat, saat kondisi sedang parah, saya bisa menghabiskan 10 butir obat setiap kali minum (kalikan 3 dalam sehari = 30 butir). Kasihan, saya sampai ngomel dengan suster yang memberikan obat karena berpikir mereka seenaknya menyuruh saya menelan obat sebanyak itu. Not my glorious days indeed.
Episode itu sukses menyadarkan saya untuk mencari tahu lebih banyak soal Lupus dan menghadapinya. Mulailah episode me-googling dan mengumpulkan literatur sebanyak mungkin. Bertanya ke dokter sudah pasti, tapi dengan banyaknya jumlah pasien setiap kali kunjungan ke dokter, tentunya saya tak bisa duduk lama dan berharap dokter menjawab semua pertanyaan saya. Tak sekedar literatur seputar Lupus tentunya, tapi juga informasi penting lainnya untuk pasien dengan penyakit kronis. Oh, percayalah..ada begitu banyak informasi yang bisa membantu. Favorit saya sejauh ini memang kebanyakan berasal dari sumber asing yang banyak mengangkat tema dari kacamata pasien. Hal-hal yang mungkin sering terlewatkan macam: persiapan kunjungan ke dokter, mencari support system, menjelaskan soal penyakit Anda kepada keluarga/teman/kolega, hingga tips dan trik menghadapi musim hujan/dingin yang merupakan periode 'menyakitkan' bagi odapus dan mereka dengan penyakit kronis lainnya.
Oh ya...ada banyak harta karun di luar sana untuk ditemukan, tentunya bukan emas atau uang, tapi informasi berlimpah. Buat saya, itulah yang terpenting dilakukan selanjutnya setelah diagnosis datang. Ok, mungkin kedua terpenting setelah Anda menarik nafas lega karena keluar dari terowongan tak berujung. Seburuk apa pun itu, jika ia memiliki nama setidaknya patut untuk sedikit banyak disyukuri.
No comments:
Post a Comment