TAHUN baru, sesuatu yang baru. Tiba-tiba saja terlintas
untuk membuat tulisan berkala dengan satu tema sama di blog ini. Wujudnya? A Thank you note. Ide ini sebetulnya
muncul dua tahun lalu dan berujung pada lahirnya sebuat post berjudul “Thank
You Note”—tentunya—di blog saya yang lain.
Sejak itu, beberapa kali saya menuliskan post dengan tema serupa (thanking someone or a group of people, literally), walaupun dengan judul-judul berbeda. Kali ini, saya berniat menjadikannya semacam kolom berkala, dengan judul…ya, Anda benar: Thank You Note. Dan ini post pertama untuk mengawalinya.
Sejak itu, beberapa kali saya menuliskan post dengan tema serupa (thanking someone or a group of people, literally), walaupun dengan judul-judul berbeda. Kali ini, saya berniat menjadikannya semacam kolom berkala, dengan judul…ya, Anda benar: Thank You Note. Dan ini post pertama untuk mengawalinya.
Ah, sebelum saya bercerita dan mengenalkan Anda dengannya—objek
tulisan ini—ada baiknya saya menjelaskan mengapa ide ini terasa penting buat
saya. Mengucapkan terima kasih adalah hal yang sangat sederhana untuk
dilakukan. Pada titik tertentu, hal ini bahkan menjadi sebuah kebiasaan. Then, it crossed my mind. Jika saya mencoba
membiasakan diri berterimakasih kepada pelayan yang membawakan makanan saya,
penjaga kasir di restoran dan pak satpam yang membukakan pintu--yang pada
dasarnya tak saya kenal—lalu mengapa saya tak membiasakan hal yang sama pada orang
yang benar-benar saya kenal? Mereka yang telah membuat hidup saya lebih mudah,
lebih baik dan menyenangkan, in times of
Lupus.
Maybe it’s the Lupus
or maybe the fact of me being a Cancer girl (overly sensitive and nostalgic, so
they say)..tapi begitulah, menuliskan tentang mereka ternyata sangatlah
menyenangkan! I love all the little
things. Dan sayangnya, little things-lah
yang justru sering kali mudah terlupa. Karena itulah, sekali lagi..demi
menghindari lupa, saya memilih menuliskan ‘all
those little things’. That in fact,
does matter to me.
----------------------
Don’t you love it when
someone calls or contacts you just to say hi and catch things up? Tak perlu
kuatir dengan kemungkinan pembicaraan berakhir pada permintaan-permintaan
tertentu. Ada maunya, begitu kira-kira. Well,
saya memiliki seorang teman yang benar-benar mempraktekkan hal ini selama beberapa tahun terakhir.
“Apa kabar?”
“Hai, kabar baik. Apa kabar?”
“Baik juga. Sehat kan?”
“Sehat kok. Thanks.”
“Syukurlah. Sibuk di mana sekarang?”
“Masih di tempat sama kok.”
“Keliatan chubby sekarang. Makin sehat ya?”
“Hahaa..iya, lumayan nih.”
“Hai, kabar baik. Apa kabar?”
“Baik juga. Sehat kan?”
“Sehat kok. Thanks.”
“Syukurlah. Sibuk di mana sekarang?”
“Masih di tempat sama kok.”
“Keliatan chubby sekarang. Makin sehat ya?”
“Hahaa..iya, lumayan nih.”
--end of conversation—
Itu percakapan terbaru dengannya di whatsapp, tepatnya 2
hari lalu. Media boleh berganti: sms, yahoo messenger, facebook chat, BBM, dan
kini whatsapp; konten tak pernah berubah. Sependek dan sesederhana itu. Soal
kabar, kondisi kesehatan, pekerjaan dan komentar mengenai foto terbaru. Tak
lebih, tak kurang. Ajaib!
Saya mengenalnya di penghujung 2003, saat pertama kali
bekerja. Dimulai dengan episode macam chicklit: ia mendekati saya, jalan bareng beberapa waktu, things didn't work out between us, awkward moments, dan akhirnya berujung berteman baik. Yes, just friends. And yes, I came to his wedding, too. Selepas saya pindah ke
pekerjaan lain di akhir 2004, praktis kami jarang sekali bertemu, mungkin
setahun sekali di beberapa kesempatan tertentu. Terakhir, saya bertemu
dengannya awal 2009 lalu di pemakaman seorang teman.
Di tahun-tahun pertama sejak terpisah, terkadang kami bisa
mengobrol (baca: online chat) panjang.
Namun seiring dengan waktu dan kesibukan, tak lagi. Saya tak ingat kapan bercerita mengenai remaja Lupus kepadanya. Namun saya ingat, saya bercerita
kepadanya karena beberapa kali ia menghubungi saat saya ‘kebetulan’ sedang
sakit atau dirawat di rumah sakit. Sejak itu, resmi dimulainya
percakapan-percakapan super pendek macam di atas. Setidaknya 3-4 bulan sekali. Oia,
dan tak pernah disertai penutup resmi macam “Bye”, “See u later” dan sejenisnya.
Begitu saja. Cukup.
Di kepala saya, ia macam sang dokter saja. Melakukan
pengecekan rutin. Atau lebih ekstrem, macam petugas polisi yang mengawasi terpidana yang dibebaskan dan berada dalam masa percobaan (Oke, hal ini terlintas setelah menonton film Double Jeopardy-nya Ashley Judd dan
Tommy Lee Jones). Bedanya, ia yang mengecek kondisi saya dan bukan sebaliknya ala
wajib lapor bagi terpidana dalam masa percobaan. Ha!
Terpikir, kami tak pernah benar-benar berhubungan (baik itu urusan pekerjaan atau lainnya) selama beberapa tahun ini. Bahkan, hampir tak pernah berkomunikasi di luar percakapan 'rutin' di atas. Mungkin, kami pun tak akan pernah bertemu lagi. Sejujurnya, ia tak punya
‘kewajiban’ atau ‘keharusan’ untuk melakukan kebiasaan yang ia lakukan selama ini. But he did anyway. For years now. And am
grateful for that.
So yes, this one is for you.
Thank you.
You know who you are.
Cheers!
Thank you.
You know who you are.
Cheers!
No comments:
Post a Comment