Time really does fly!
Januari datang kembali, dan buat saya itu artinya 4 tahun sudah hidup bersama
remaja Lupus. Tak ada rencana khusus tentunya; saya juga tak tahu
apakah saya harus merayakannya layaknya sebuah Hari Jadi, ulang tahun atau sejenisnya.
Tanggal tepatnya pun saya tak yakin harus menggunakan tanggal apa: pertama kali
sakit atau saat mendapatkan diagnosis? Untuk kepentingan tulisan ini—setelah berpikir
sebentar—rasanya saya akan menggunakan tanggal hari pertama sakit, yaitu 26
Januari 2009. Bertepatan dengan Imlek 2009.
Empat tahun berlalu..namun baru tahun ini saya berniat untuk
sedikit—ya, sedikit—merayakannya. Aneh? Bisa jadi, tapi tak apalah. Mungkin tak
akan ada kue, lilin dan teman-temannya (entahlah, saya belum benar-benar
memutuskan), tapi tentunya saya jadi bernostalgia mengenang apa saja yang sudah
terlewati. Ya..satu hal yang saya sadari
di tengah perjalanan ini adalah: saat Anda hidup dengan penyakit kronik
(menahun), lupa adalah hal yang ingin Anda hindari.
Oya, sebelum saya lupa, tulisan ini muncul setelah secara
tak sengaja menemukan foto lama. Foto diri dengan latar belakang kawah
Tangkuban Perahu. Begitu melihatnya, langsung teringat jelas hari itu dan
hari-hari sesudahnya. Kunjungan tersebut terjadi seminggu atau 2 minggu sebelum
26 Januari 2009. Saya ingat, kunjungan itu tak direncanakan, karenanya saya
agak salah kostum. Oya, hari itu angin jauh dari sepoi-sepoi dan
dinginnyaaaa..Ya Tuhaaann…bicara pun bibir saya sampai gemetar! But, it was one fine day indeed. Tentunya.
Mengingat minggu-minggu sesudahnya perjalanan menguras emosi-jiwa-raga pun
dimulai.
Layaknya setiap perjalanan penting dalam hidup, tahun
pertama dan kedua tak mudah dilewati: banyak tanjakan terjal, turunan curam dan
tikungan tajam. Metafora yang menggambarkan perjuangan mencari diagnosis tepat,
periode flare-ups (kambuh) parah, dan
episode-episode menginap di rumah sakit. Tahun ketiga untunglah relatif tak
semenyakitkan tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya tak ada episode menginap di
rumah sakit. Dan tahun keempat—yang baru saja terlewati—lagi-lagi saya bersyukur
dengan ketiadaan episode kambuh. Dan ah, yang satu ini penting betul buat saya. Pertengahan tahun 2012 saya kembali ke berat badan awal sebelum Lupus: 48 kg! Yeay! Kata siapa menaikkan berat badan mudah? Setelah turun beberapa kilo saat pertama kali sakit dan sukses kehilangan 6 kg dalam 5 hari saja di 2010, maafkan kalau saya agak terharu biru kembali ke titik ini. Yes, at
the end of the day…2012 saya tutup dengan kelegaan sesederhana itu.
Oh well, tentunya
tak seru jika semuanya berjalan mulus tanpa cela. Teringat seorang teman yang
tahu sepanjang tahun ini kesehatan saya lumayan stabil, bertanya: “Terus, kalau
lagi sehat dan gak sakit begini, apa sih yang lo rasain sebetulnya?” Normally, menghadapi pertanyaan macam
ini saya agak segan berpanjang-lebar dan muncul dengan jawaban super standar
macam “Biasa aja”. Cukup. Tapi ya, sebetulnya apa yang saya rasakan on daily basis?
Jawabannya termasuk kategori “so lame” sejujurnya. Badan sakit-sakit macam paska kerja rodi berminggu-minggu,
pegal ampun-ampunan, tak tahan dingin, gampang mual, pusing, panas-dingin, kembung,
lemas tak bertenaga, dan teman-temannya. Bayangkanlah...masuk angin. Nah, itu dia! Gak ada keren-kerennya. Lame, I know. Setiap hari? Yes. Some
days are worse, others are slightly better.
Sounds like excuses?
Oh yea, I get that oh-c’mon-don’t-give-me-those-classic-excuses look a lot! Sayangnya
begitulah, sejak awal 2011 saya konstan merasa macam masuk angin setiap hari. Sejatinya orang Indonesia, salah satu cara ampuh
menyembuhkan atau mengurangi efek masuk angin adalah dipijat. Suatu hari,
setelah selama seminggu agak tepar karena panas naik-turun di awal 2011, saya pun
berkenalan sedikit dengan akupresur. Intinya sih, memijat titik-titik tertentu
di tubuh untuk melancarkan peredaran darah dan mengurangi rasa sakit. Singkat
cerita, efeknya lumayan terasa. Badan terasa agak ringan dan membaik. Efek
samping? Burping alias bersendawa! Resmilah
saya saat itu menjadi pengganggu konsentrasi orang di kantor. Yes, me..burping..a lot. Oh well…
Efek samping lain dari upaya melakukan akupresur amatiran pada
diri sendiri adalah biru-biru alias memar pada beberapa titik yang dituju.
Umumnya tangan, pundak dan paha. Entahlah, mungkin semacam sugesti, tapi saya
terus melakukannya tanpa sadar dari waktu ke waktu. Ha! Akhirnya, setelah
beberapa bulan berjalan, saya menyerah juga..penasaran dan melaporkannya pada
sang dokter. Reaksinya? Sayangnya tak banyak. Selain manggut-manggut dan
tambahan 2 item dalam resep: salep penghangat badan dan pelega pernafasan serta
roll-on pereda sakit pada persendian. Ah..mari kita kembali saja pada akupresur mandiri,
walaupun agak asal.
Faktanya memang semua itu adalah sebagian dari gejala klasik yang dialami seseorang dengan Lupus. Yang sayangnya dialami sepanjang tahun. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya menemukan solusi pas.
Awal 2012 batuk kembali menggila selama berbulan-bulan. Setelah antibiotik dan
rangkaian terapi inhalasi (pemberian obat secara langsung ke dalam saluran
nafas alias dihirup/diuap) nyaris tak berpengaruh, saya pun kembali deg-degan
karena khawatir penyakit lama di episode flare-up
sebelumnya kembali menyerang. Waktu itu, baru saja 4 bulan sebelumnya saya
lulus dari treatment penyembuhan TB
yang mengharuskan saya mengkonsumsi obat khusus tak putus selama 9 bulan. Setelah
akhirnya hasil tes rontgen dan CT-scan menunjukkan tak ada yang serius, saya
mulai mati kutu. Hopeless dan obat-less, ditambah efek musim penghujan yang
makin menyakitkan di badan, saya pun membulatkan tekad untuk memulai kembali
rutinitas olahraga ringan 30 menit setiap hari. Aha! It worked people! Jadi rupanya olahraga setiap hari menjauhkan
kita dari sakit bukanlah urban legend
atau mitos semata.
Ah ya tentunya segala sesuatu tak bisa berdiri sendirian
bukan? Di luar itu masih ada faktor-faktor pendukung lainnya. Setelah berdamai dengan
masuk angin (yup, ia setia menyertai hari-hari saya hingga kini), segala
sesuatunya terasa lebih ringan dijalani. Yes,
I also did some changes, or adjustments, in my life related to work. Prinsip mind over matter tentunya juga penting. Sakit jangan dirasa,
begitu kata orang. Walaupun kini saya tak selalu setuju, prinsip itu terkadang
mau tak mau harus diterapkan juga..just
to get your work done. Tapi di lain waktu, saya belajar untuk berbaik hati
pada badan sendiri. When the going gets
tough, just stop. And give yourself a break. Dan ya, berhentilah berharap semua
orang akan memahami hal ini—karena sejujurnya sulit. Some of them will..eventually. And that’s enough.
Pada akhirnya, mengutip kalimat James Wilson MD dari serial
House: Familiar pain means all is well, jika Anda menanyakan apa yang
saya rasakan saat ini—setelah 4 tahun berlalu—ini jawab saya.
“All is well”.
No comments:
Post a Comment