Friday, October 19, 2012

When It's Time To Seek Some Support

Oke, menjawab beberapa pertanyaan seputar Lupus pada pukul 1 dini hari bukanlah sesuatu yang kerap terjadi selama 3,5 tahun ini. Atau pun sesuatu yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Oh well, there's always a first time for everything, eh? 

Menulis dan menjawab langsung buat saya boleh lah diandaikan macam sandal dan boots. Fungsi boleh mirip, tapi yang pertama lebih mudah dipakai dibandingkan yang kedua. Menjawab langsung seringkali tak semulus menuliskannya. Terlepas dari faktor waktu--sekali lagi, pukul 1 dini hari--yang bisa disalahkan akan tumpulnya kemampuan menjelaskan langsung, menulis rasanya lebih mampu mengungkapkan sesuatu secara utuh. Ya, itulah juga alasan mengapa blog ini lahir. Menjawab berbagai pertanyaan orang, baik itu yang sudah dan kerap ditanyakan langsung, atau pun yang tak pernah tersampaikan karena keragu-raguan yang amat sangat saya maklumi.

But yes..ada yang berbeda dengan percakapan pukul 1 dini hari itu.


"Lo suka berkumpul gitu gak?"

Nah, saya betul-betul tak tahu arah pertanyaan ini. Pastinya--setelah jeda beberapa detik--saya teramat yakin pertanyaan itu tak ada hubungannya dengan hangout ngopi-ngopi bareng teman di Jumat malam atau weekendAnd then it hit me. Ia bertanya mengenai komunitas sesama odapus (support group). Ah, saya baru sadar bahwa selama ini belum ada satu orang pun yang menanyakannya.

Terlahir sebagai anak bungsu, ya..saya melewatkan masa kecil dan sekolah dulu kurang lebih benar adanya sebagai anak 'agak' manja. Tapi sejak masa kuliah, saya mulai terbiasa melakukan banyak hal sendiri--at least I try--dan ya, seiring dengan waktu terkadang terlalu 'sombong' dan 'gengsi' untuk meminta bantuan dan merasa Oh well..I'll figure things out myself. Ha!

Begitu pula ketika diagnosis Lupus hadir. Perasaan lega amat sangat ditambah sedikit perasaan bersalah karena sudah meresahkan keluarga besar selama beberapa bulan, mendorong saya untuk tidak membahas apa-apa lagi mengenai topik ini. Termasuk tidak melakukan apa pun untuk mencari informasi lebih banyak. Singkat cerita, beberapa episode kambuh yang lumayan berat akhirnya meyakinkan saya bahwa ada hal-hal yang tak mungkin diatasi sendiri. Khususnya yang satu ini.

Yang juga disadari kemudian dan ya..disebutkan hampir di setiap literatur yang saya temukan adalah pentingnya keberadaan support system. Dokter, pekerja medis, keluarga, pasangan, teman, komunitas dukungan dan masih banyak lagi. Kenapa? Dari sisi medis saja, pasien Lupus umumnya akan membutuhkan lebih dari 1 dokter, tergantung organ tubuh yang terserang. Di luar itu, dukungan dari lingkungan terdekat menjadi penting mengingat akan ada banyak penyesuaian gaya hidup dan aktivitas sehari-hari yang harus dilakukan oleh odapus. Saking pentingnya, di Amerika sana muncul pula berbagai komunitas dukungan untuk sesama caretaker (mereka yang hidup dengan dan merawat odapus).

Jujur saja, hingga saat ini saya tidak terlibat aktif dalam komunitas atau support group Lupus. Setelah tahap ketidakpedulian di tahun pertama, akhirnya saya menjadi anggota Yayasan Lupus Indonesia ketika dirawat di RS Kramat 128 (yang juga merupakan lokasi sekretariat mereka) akhir 2010 lalu. Yayasan ini memang cukup luas misi dan kegiatannya, termasuk sosialisasi, fasilitasi pelatihan medik, keringanan biaya medis bagi anggota, hingga konseling. Untuk yang terakhir, pengalaman saya bermula di akhir 2010 tersebut, bertempat di ruang IGD.

"Halo, saya Tiara. Saya dengar kamu pasien Lupus ya?"
"Err..iya.."
"Sudah kenal teman saya? Nanti kalau kamu sudah masuk ruang perawatan, kami berkunjung ya..ngobrol-ngobrol aja."
"Oh..oke."
"Kenapa nangis? Apa yang dirasa?"

---------

Saya tidak memiliki satu pun saudara atau teman yang juga hidup dengan Lupus. Hingga akhirnya berkenalan dengan Ketua Yayasan Lupus Indonesia (yang ternyata pengunjung dadakan di IGD malam itu), dan salah satu pengurus yayasan yang kemudian mengunjungi saya di kamar di RS. Mendengar ceritanya yang telah bertahun-tahun hidup dengan Lupus, melewati masa-masa kambuh yang cukup parah dan dampaknya pada pekerjaan serta keluarga pastinya sukses membuat perasaan ketar-ketir, campur-aduk. Oke, saya tidak siap untuk mendengar lebih banyak cerita semacam ini...pikir saya. Sebelumnya saya memang sempat membaca kisah serupa di beberapa situs mengenai Lupus, namun berhadapan dan mendengarkan langsung, percayalah...memiliki efek jauh lebih kuat.

Ternyata semesta masih ingin memberikan kejutan. Karena saat itu RS yang saya tempati sedang penuh macam peak season, akhirnya saya menempati kamar untuk 2 pasien. Setelah roommate pertama diperbolehkan pulang, muncul pasien baru di suatu malam. Seorang ibu muda dengan gangguan pada ginjal. And yes, I can tell she was in so much pain. Walaupun kami terpisah tirai, saya tetap dapat mendengar setiap perbincangannya dengan dokter dan suster, dan saya tahu kondisi saya tak ada apa-apanya dibanding apa yang dirasakannya.

Oh, sekali lagi semesta berkonspirasi..ternyata kami berbagi dokter yang sama. My doctor. Suatu malam di tengah kunjungan sang dokter, saya--untuk kesekian kalinya--mengeluhkan hal yang sama: kondisi badan yang belum juga membaik. Dan jawabnya: "Teman sekamar kamu itu baru ketahuan Lupus hari ini dan kondisinya sudah parah kena ke ginjal. Daripada stress belum bisa pulang, coba kamu hibur dia, siapa tahu dia mau tanya-tanya".

-------

Takut, ketar-ketir, adalah hal yang sangat wajar. Ketika akhirnya sempat beberapa kali berbincang dengan sesama pasien Lupus di ruang tunggu klinik, saya tersadar adanya rasa lain yang muncul. Saya butuh mendengarkan ini. Bahwa ada banyak perempuan di luar sana yang merasakan hal yang sama, lebih berat bahkan, dan mencari semua bantuan yang ia mampu temukan untuk bertahan. Tercelalah saya yang memilih tak melakukan apa pun.

Pada akhirnya, keputusan bergabung atau tidak dengan komunitas pendukung dan sejenisnya memang tak lepas dari kebutuhan untuk berbagi. Ada cukup banyak di luar sana. Selain Yayasan Lupus Indonesia, ada juga Syamsi Dhuha Foundation dengan "Care For Lupus"-nya, dan beberapa komunitas sejenis di daerah-daerah. Untuk saya yang masih setengah-setengah ini, rasanya masih akan terasa jengah untuk berkumpul dan berbagi cerita langsung dengan mereka. Ah, saat ini saya memilih untuk membaca dan menuliskannya saja..dan mungkin...mungkin...mulai mempertimbangkan niat membuka percakapan dengan sesama pasien di ruang tunggu klinik. Hopefully. 

No comments:

Post a Comment