Thursday, October 18, 2012

In The Waiting Room

Menunggu bisa jadi urusan tak mudah. Tak hanya soal siapa atau apa yang ditunggu, tapi juga lokasi menunggu. Faktor lokasi menjadi penting memang tak melulu dalam dunia bisnis, tapi banyak hal lainnya. Saat bersekolah dulu, ungkapan "lokasi duduk menentukan prestasi" lumayan populer. Terserah, mau diinterpretasikan seperti apa, tapi begitulah adanya. Kini, lokasi juga menjadi pertimbangan krusial buat saya saat akan melakukan kunjungan ke dokter.

Buat sebagian orang, rumah sakit bukanlah tempat yang nyaman untuk sering-sering dikunjungi bahkan sebisa mungkin dihindari. Saya sendiri sebetulnya 'agak' menyukai kunjungan ke rumah sakit. Entahlah kenapa. Namun ternyata satu pengalaman melakukan kunjungan kontrol ke dokter di rumah sakit bisa mengubah ke'suka'an saya ini. 

Tiga setengah tahun lalu, saya mendapatkan pencerahan (diagnosa Lupus) di sebuah klinik di kawasan Kramat ketika mengunjungi seorang dokter spesialis untuk mendapatkan second opinion dari misteri sakit saat itu. Ternyata bukan urusan mudah untuk mengunjunginya. Percobaan pertama...gagal. Ya, untuk bisa masuk dalam daftar pasien sang dokter di RS Kramat 128 saya harus menunggu sebulan! Fully booked! Gak beres...pikir saya saat itu. Apalagi mengingat kondisi yang masih sangat payah tak berdaya paska 2 kali rawat inap di rumah sakit. Mengikuti saran suster, kami memutuskan mengunjungi langsung sang dokter di lokasi prakteknya yang lain--RSCM--keesokan harinya dan berharap bisa langsung daftar di tempat. Jika ada salah satu rumah sakit yang memang sebaiknya dihindari..ya itu tadi, RSCM. Urusan parkirnya saja mampu menguapkan semangat bahkan orang paling optimis sedunia!

Singkat cerita, percobaan kedua pun gagal. Sang dokter hanya praktek 1 jam saja karena harus menghadiri seminar penting, sehingga tak mungkin saya bisa masuk dalam jadwalnya hari itu. Untungnya lagi-lagi seorang suster menyarankan kami untuk mencoba datang langsung ke sebuah klinik tak jauh dari RSCM tempat sang dokter praktek keesokan harinya. Hopeless yes..tapi tetap kami coba. Rumah sakit yang besar saja sudah fully booked, apalagi klinik kecil...begitu tuduhan saya. Tapi ya begitulah...nuduh itu memang sebaiknya jangan. Karena ternyata, dengan mudahnya saya langsung masuk daftar pasien untuk esok hari. Fiuhhh...

Klinik itu tak terlalu besar, rapih, dan sangat nyaman. Vas bunga di beberapa meja yang dikelilingi bangku-bangku empuk dan sofa macam di ruang tamu kebanyakan. Dindingnya pun dipenuhi beragam lukisan besar aneka warna. Jauh dari kesan berbau medis macam rumah sakit. Saya langsung menyukainya saat pertama kali, hingga saat ini dan konsisten melakukan kontrol rutin ke klinik tersebut. Dulu, keputusan ini berdasarkan kebiasaan semata, kini saya memiliki argumen kuat untuk melakukannya. 

Alkisah, akhir tahun 2010 saya terpaksa menginap di RS Kramat 128 karena si remaja Lupus yang mendadak aktif. Setelah 2 minggu dirawat dan diperbolehkan pulang, saya disarankan untuk segera datang jika keluhan sakit kembali muncul. Beberapa hari di rumah, mendadak kondisi saya kembali drop dan terpaksa segera ke RS karena hari itu sang dokter tak ada jadwal praktek di klinik. Oh, pengalaman tak terlupakan.

Ruang tunggu di lantai 2 itu cukup besar, dipenuhi barisan kursi yang penuh terisi. Bandingkan saja, saat berpraktek di klinik, sang dokter membatasi jumlah pasien sekitar 20-an saja. Sedangkan di RS malam itu, ada daftar tunggu sepanjang 80 nama yang bisa berakhir tengah malam. Suasana hiruk pikuk, ditambah wajah-wajah pasien dalam kondisi sakit plus merana terlalu lama menunggu. Dan entah kenapa, orang-orang yang menunggu (umumnya sesama anggota keluarga yang menemani) merasa perlu untuk saling berbincang mengenai kondisi pasien. Oh, mengapa? Perbincangan dengan orang tak dikenal di ruang tunggu dokter jelas bukan sesuatu yang saya idamkan. 

Saya langsung mengenalinya sesampainya di ruang tunggu tersebut. Ia adalah teman sekelas di tahun pertama di SMA. Saat itu kami sangat akrab, karena ia duduk di meja depan saya. Selepas SMA, saya tak pernah bertemu lagi dengannya, hanya sebatas berteman di halaman Facebook. Saat itu ia didampingi istrinya dan terlihat santai berbincang-bincang selama menunggu. Saya sempat bertanya-tanya, siapa kira-kira yang menjadi pasien karena keduanya terlihat baik-baik saja. Dalam hati, saya amat sangat berharap ia tak melihat saya karena yes..tampang saya..sudahlah, tak perlu digambarkan. Yang pasti saya tak ingin berada dalam awkward moment membahas penyakit dengan teman lama yang sudah 1 dekade lebih tak bertemu. 

Gagal. Begitu nama saya dipanggil untuk masuk ke ruangan asisten dokter, saya tahu ia akan langsung mengenali saya. Benar saja, begitu kembali ke ruang tunggu, tak butuh 5 menit, ia langsung duduk di sebelah saya. 

"Hai La. Gue denger nama lo dipanggil tadi. Lo ke dokter ini juga? Sakit apa?"
(Yang rupanya langsung dijawab oleh ibu saya yang mungkin ingin menetralisir suasana) 
"Radang paru. Kemarin habis dirawat di sini 2 minggu, mendadak drop lagi di rumah".
(Upaya yang gagal)
"Oh, gitu. Jadi, lo sakit apa sebenernya La?"
(Who am I kidding? Toh, dokter kami sama)
"Lupus".
"Oh, sama dong. Dulu juga gue didiagnosis Lupus, tapi ternyata gue Leukeumia". 

---------

Beberapa minggu setelah pertemuan di ruang tunggu itu, saya mendapat kabar ia berada dalam kondisi kritis dan dirawat di ICU. Beberapa bulan setelahnya..kabar duka itu datang lewat pesan singkat. Ia sudah berpulang. Ah....

---------

Berkunjung ke dokter mungkin memang tak akan pernah menjadi hal membahagiakan apalagi jika dilakukan hampir setiap bulan. Sejak pertemuan dengan teman saya itu, jujur..ada perasaan amat sangat gentar dan bersalah setiap kali membayangkan harus kembali ke ruang tunggu di RS tersebut. Tapi jika ini adalah hal yang harus dilakukan secara rutin hingga bertahun-tahun ke depan, setidaknya yang bisa Anda lakukan adalah membuat diri Anda senyaman mungkin. Beruntung, saya memiliki alternatif lain. Cerita saya dengan sang dokter dan klinik kecil di Kramat dibuka dengan awal yang melegakan dan membahagiakan. Semoga Anda pun memiliki pilihan itu.

My kind of waiting room? The one with nice sofa where I can silently read my book and put on some music. And yes, no small talks please....at least for now.   

No comments:

Post a Comment