Monday, October 15, 2012

The Cost of Living with Lupus

Sakit itu mahal. Siapa pun yang pertama kali muncul dengan kalimat ini adalah BENAR adanya. Ya, kalau sampai dirawat di rumah sakit tak ada yang akan menyangkal soal tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Tapi untuk beberapa jenis penyakit lainnya, di luar itu ada biaya rutin yang harus dikeluarkan setiap periode waktu tertentu. Kebutuhannya? Biaya kontrol rutin ke dokter dan obat.

Oke, beberapa jenis penyakit tertentu biaya pengobatannya memang bisa selangit. Sebut saja penyakit yang membutuhkan kemoterapi, cuci darah atau operasi. Ternyata, dari beberapa survey di Amerika yang saya baca, faktor biaya (financial burden) menjadi salah satu kecemasan terbesar bagi mereka yang hidup dengan Lupus. Untuk mereka yang termasuk dalam kasus berat, pasien memang biasanya membutuhkan biaya untuk kemoterapi dan cuci darah (kerusakan ginjal adalah salah satu kondisi yang umum ditemukan pada kasus berat Lupus). Namun di luar itu, sebagian besar pasien Lupus 'hanya' mengandalkan obat dan kunjungan rutin ke dokter, mengingat sifat Lupus yang kadang kambuh-kadang remisi.

Buat saya yang masih dalam golongan pekerja mengandalkan gaji, urusan kunjungan ke dokter dan obat bisa jadi urusan memusingkan! Ha..miris rasanya setiap kali berada di depan kasir apotik. Dannn...hilanglah tabungan liburan saya! :D Tapi dibandingkan penyakit-penyakit lain, rasanya ini masih tergolong wajar. Lalu kenapa biaya jadi kecemasan terbesar? Ternyata hal ini dikaitkan dengan kondisi pasien yang tidak bisa bekerja optimal seperti orang kebanyakan. Salah siapa? Yes..jika Anda menjawab atau menuduh gejala fatigue (lelah berkepanjangan) maka Anda benar!


Sialnya, fatigue dan beberapa nyeri lainnya adalah gejala terbesar yang dialami mereka dengan Lupus. Energy-zapping..itu istilah kerennya. Efeknya gak ketebak. Hari ini sehat, besok tepar. Banyak janji dan deadline tak terpenuhi karena sakit yang serba dadakan. We did our best, people. But some days are simply worse than others. Survey menunjukkan tingginya responden yang harus mengurangi waktu bekerja, pindah, berhenti atau pensiun dini. Semuanya berujung pada pengurangan penghasilan yang akhirnya semakin berat membiayai pengobatan, bahkan biaya kehidupan sehari-hari.

Berat? Pastinya. Tak hanya soal berkurang atau hilangnya sumber penghasilan. Hilangnya pekerjaan bisa jadi hilangnya sumber kebahagiaan seseorang. Something you love, something you know you're good at. Dan bukan perkara mudah untuk membuat orang lain mengerti. Keluarga mungkin akan memahami, namun terkadang sulit bertahan dari tatapan atau omongan orang (boss, kolega) yang seringkali mengkaitkan kondisi tersebut dengan kurangnya kredibiltas dan integritas dalam bekerja.

Oh yea, been there. Sempat merasakan bekerja 1 bulan saja dan 'terpaksa' berhenti karena perusahaan tentunya sulit memiliki karyawan yang setiap kali harus izin sakit (it was my darkest days at the hospital for 2 weeks). Well, it was a win-win solution memang..toh, nyatanya memang sulit dalam kondisi saya saat itu untuk mengerjakan semua deadline yang memaksa saya lembur hingga tengah malam hampir setiap hari.

Tapi tentunya, tak selamanya terasa menyesakkan. Pekerjaan saya berikutnya jauh lebih baik, bahkan saya amat mensyukurinya. Well, saya pun tak sempat bekerja lama..kurang dari setahun. Same old story. Si remaja Lupus sedang kambuhan tak tentu arah. Singkat cerita...atasan saya memberikan kelonggaran dengan mengizinkan (mengharuskan tepatnya) saya bekerja setengah hari. Begitulah hari-hari saya selama beberapa bulan. Datang saat makan siang ke kantor dan 'dipaksa' pulang jam 5 sore. Dengan catatan, saya terus berkomunikasi dengan tim dan klien melalui email dan telepon. Dan tentunya mendelegasikan semua pekerjaan sebaik mungkin dengan tim.

It worked for some time. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk berhenti karena terlepas dari fakta saya tetap dapat menyelesaikan pekerjaan, namun tetap sulit melepaskan diri dari perasaan bersalah karena merasa tak bisa berkontribusi optimal. Tapi tentunya perasaan bersalah itu tak bisa disimpan terus-menerus mengingat tumpukan tagihan yang harus dibayar dan resep yang harus ditebus :p

At the end of the day, kecemasan itu selalu ada. Mengetahui bahwa mereka di luar sana merasakan dan menghadapi hal yang sama adalah sesuatu yang.....meringankan. Ada banyak cara tentunya untuk mengatasi masalah finansial ini. Freelancing adalah salah satunya. Bekerja dari rumah, membuat usaha sendiri bisa jadi alternatif lainnya. Di luar itu, pastikan Anda memiliki support system yang baik. Keluarga, teman, atau siapa pun yang membantu dan mendukung dengan cara apa pun. Oh yea, my friends are the best! Terkadang saya pikir mereka agak posesif dan protektif dibandingkan keluarga sendiri. Ha! There you go, the silver lining behind every dark clouds. 

See the full article of the survey : 
http://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_newsroomnews.aspx?articleid=4437&zoneid=59

No comments:

Post a Comment