Monday, January 7, 2013

All is Well

Time really does fly! Januari datang kembali, dan buat saya itu artinya 4 tahun sudah hidup bersama remaja Lupus. Tak ada rencana khusus tentunya; saya juga tak tahu apakah saya harus merayakannya layaknya sebuah Hari Jadi, ulang tahun atau sejenisnya. Tanggal tepatnya pun saya tak yakin harus menggunakan tanggal apa: pertama kali sakit atau saat mendapatkan diagnosis? Untuk kepentingan tulisan ini—setelah berpikir sebentar—rasanya saya akan menggunakan tanggal hari pertama sakit, yaitu 26 Januari 2009. Bertepatan dengan Imlek 2009.

Empat tahun berlalu..namun baru tahun ini saya berniat untuk sedikit—ya, sedikit—merayakannya. Aneh? Bisa jadi, tapi tak apalah. Mungkin tak akan ada kue, lilin dan teman-temannya (entahlah, saya belum benar-benar memutuskan), tapi tentunya saya jadi bernostalgia mengenang apa saja yang sudah terlewati. Ya..satu hal yang saya sadari di tengah perjalanan ini adalah: saat Anda hidup dengan penyakit kronik (menahun), lupa adalah hal yang ingin Anda hindari.

Oya, sebelum saya lupa, tulisan ini muncul setelah secara tak sengaja menemukan foto lama. Foto diri dengan latar belakang kawah Tangkuban Perahu. Begitu melihatnya, langsung teringat jelas hari itu dan hari-hari sesudahnya. Kunjungan tersebut terjadi seminggu atau 2 minggu sebelum 26 Januari 2009. Saya ingat, kunjungan itu tak direncanakan, karenanya saya agak salah kostum. Oya, hari itu angin jauh dari sepoi-sepoi dan dinginnyaaaa..Ya Tuhaaann…bicara pun bibir saya sampai gemetar! But, it was one fine day indeed. Tentunya. Mengingat minggu-minggu sesudahnya perjalanan menguras emosi-jiwa-raga pun dimulai.

Layaknya setiap perjalanan penting dalam hidup, tahun pertama dan kedua tak mudah dilewati: banyak tanjakan terjal, turunan curam dan tikungan tajam. Metafora yang menggambarkan perjuangan mencari diagnosis tepat, periode flare-ups (kambuh) parah, dan episode-episode menginap di rumah sakit. Tahun ketiga untunglah relatif tak semenyakitkan tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya tak ada episode menginap di rumah sakit. Dan tahun keempat—yang baru saja terlewati—lagi-lagi saya bersyukur dengan ketiadaan episode kambuh. Dan ah, yang satu ini penting betul buat saya. Pertengahan tahun 2012 saya kembali ke berat badan awal sebelum Lupus: 48 kg! Yeay! Kata siapa menaikkan berat badan mudah? Setelah turun beberapa kilo saat pertama kali sakit dan sukses kehilangan 6 kg dalam 5 hari saja di 2010, maafkan kalau saya agak terharu biru kembali ke titik ini. Yes, at the end of the day…2012 saya tutup dengan kelegaan sesederhana itu.

Oh well, tentunya tak seru jika semuanya berjalan mulus tanpa cela. Teringat seorang teman yang tahu sepanjang tahun ini kesehatan saya lumayan stabil, bertanya: “Terus, kalau lagi sehat dan gak sakit begini, apa sih yang lo rasain sebetulnya?” Normally, menghadapi pertanyaan macam ini saya agak segan berpanjang-lebar dan muncul dengan jawaban super standar macam “Biasa aja”. Cukup. Tapi ya, sebetulnya apa yang saya rasakan on daily basis?

Jawabannya termasuk kategori “so lame” sejujurnya. Badan sakit-sakit macam paska kerja rodi berminggu-minggu, pegal ampun-ampunan, tak tahan dingin, gampang mual, pusing, panas-dingin, kembung, lemas tak bertenaga, dan teman-temannya. Bayangkanlah...masuk  angin. Nah, itu dia! Gak ada keren-kerennya. Lame, I know. Setiap hari? Yes. Some days are worse, others are slightly better.

Sounds like excuses? Oh yea, I get that oh-c’mon-don’t-give-me-those-classic-excuses look a lot! Sayangnya begitulah, sejak awal 2011 saya konstan merasa macam masuk angin setiap hari. Sejatinya  orang Indonesia, salah satu cara ampuh menyembuhkan atau mengurangi efek masuk angin adalah dipijat. Suatu hari, setelah selama seminggu agak tepar karena panas naik-turun di awal 2011, saya pun berkenalan sedikit dengan akupresur. Intinya sih, memijat titik-titik tertentu di tubuh untuk melancarkan peredaran darah dan mengurangi rasa sakit. Singkat cerita, efeknya lumayan terasa. Badan terasa agak ringan dan membaik. Efek samping? Burping alias bersendawa! Resmilah saya saat itu menjadi pengganggu konsentrasi orang di kantor. Yes, me..burping..a lot. Oh well…

Efek samping lain dari upaya melakukan akupresur amatiran pada diri sendiri adalah biru-biru alias memar pada beberapa titik yang dituju. Umumnya tangan, pundak dan paha. Entahlah, mungkin semacam sugesti, tapi saya terus melakukannya tanpa sadar dari waktu ke waktu. Ha! Akhirnya, setelah beberapa bulan berjalan, saya menyerah juga..penasaran dan melaporkannya pada sang dokter. Reaksinya? Sayangnya tak banyak. Selain manggut-manggut dan tambahan 2 item dalam resep: salep penghangat badan dan pelega pernafasan serta roll-on pereda sakit pada persendian. Ah..mari kita kembali saja pada akupresur mandiri, walaupun agak asal.

Faktanya memang semua itu adalah sebagian dari gejala klasik yang dialami seseorang dengan Lupus. Yang sayangnya dialami sepanjang tahun. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya menemukan solusi pas. Awal 2012 batuk kembali menggila selama berbulan-bulan. Setelah antibiotik dan rangkaian terapi inhalasi (pemberian obat secara langsung ke dalam saluran nafas alias dihirup/diuap) nyaris tak berpengaruh, saya pun kembali deg-degan karena khawatir penyakit lama di episode flare-up sebelumnya kembali menyerang. Waktu itu, baru saja 4 bulan sebelumnya saya lulus dari treatment penyembuhan TB yang mengharuskan saya mengkonsumsi obat khusus tak putus selama 9 bulan. Setelah akhirnya hasil tes rontgen dan CT-scan menunjukkan tak ada yang serius, saya mulai mati kutu. Hopeless dan obat-less, ditambah efek musim penghujan yang makin menyakitkan di badan, saya pun membulatkan tekad untuk memulai kembali rutinitas olahraga ringan 30 menit setiap hari. Aha! It worked people! Jadi rupanya olahraga setiap hari menjauhkan kita dari sakit bukanlah urban legend atau mitos semata.

Ah ya tentunya segala sesuatu tak bisa berdiri sendirian bukan? Di luar itu masih ada faktor-faktor pendukung lainnya. Setelah berdamai dengan masuk angin (yup, ia setia menyertai hari-hari saya hingga kini), segala sesuatunya terasa lebih ringan dijalani. Yes, I also did some changes, or adjustments, in my life related to work. Prinsip mind over matter tentunya juga penting. Sakit jangan dirasa, begitu kata orang. Walaupun kini saya tak selalu setuju, prinsip itu terkadang mau tak mau harus diterapkan juga..just to get your work done. Tapi di lain waktu, saya belajar untuk berbaik hati pada badan sendiri. When the going gets tough, just stop. And give yourself a break. Dan ya, berhentilah berharap semua orang akan memahami hal ini—karena sejujurnya sulit. Some of them will..eventually. And that’s enough.

Pada akhirnya, mengutip kalimat James Wilson MD dari serial House: Familiar pain means all is well, jika Anda menanyakan apa yang saya rasakan saat ini—setelah 4 tahun berlalu—ini jawab saya.

“All is well”. 

No comments:

Post a Comment