Wednesday, January 16, 2013

Thank You Note #1

TAHUN baru, sesuatu yang baru. Tiba-tiba saja terlintas untuk membuat tulisan berkala dengan satu tema sama di blog ini. Wujudnya? A Thank you note. Ide ini sebetulnya muncul dua tahun lalu dan berujung pada lahirnya sebuat post berjudul “Thank You Note”—tentunya—di blog saya yang lain.

Sejak itu, beberapa kali saya menuliskan post dengan tema serupa (thanking someone or a group of people, literally), walaupun dengan judul-judul berbeda. Kali ini, saya berniat menjadikannya semacam kolom berkala, dengan judul…ya, Anda benar: Thank You Note. Dan ini post pertama untuk mengawalinya.

Ah, sebelum saya bercerita dan mengenalkan Anda dengannya—objek tulisan ini—ada baiknya saya menjelaskan mengapa ide ini terasa penting buat saya. Mengucapkan terima kasih adalah hal yang sangat sederhana untuk dilakukan. Pada titik tertentu, hal ini bahkan menjadi sebuah kebiasaan. Then, it crossed my mind. Jika saya mencoba membiasakan diri berterimakasih kepada pelayan yang membawakan makanan saya, penjaga kasir di restoran dan pak satpam yang membukakan pintu--yang pada dasarnya tak saya kenal—lalu mengapa saya tak membiasakan hal yang sama pada orang yang benar-benar saya kenal? Mereka yang telah membuat hidup saya lebih mudah, lebih baik dan menyenangkan, in times of Lupus.

Maybe it’s the Lupus or maybe the fact of me being a Cancer girl (overly sensitive and nostalgic, so they say)..tapi begitulah, menuliskan tentang mereka ternyata sangatlah menyenangkan! I love all the little things. Dan sayangnya, little things-lah yang justru sering kali mudah terlupa. Karena itulah, sekali lagi..demi menghindari lupa, saya memilih menuliskan ‘all those little things’. That in fact, does matter to me.

----------------------

Don’t you love it when someone calls or contacts you just to say hi and catch things up? Tak perlu kuatir dengan kemungkinan pembicaraan berakhir pada permintaan-permintaan tertentu. Ada maunya, begitu kira-kira. Well, saya memiliki seorang teman yang benar-benar mempraktekkan hal ini selama beberapa tahun terakhir. 

“Apa kabar?”
“Hai, kabar baik. Apa kabar?”
“Baik juga. Sehat kan?”
“Sehat kok. Thanks.”
“Syukurlah. Sibuk di mana sekarang?”
“Masih di tempat sama kok.”
“Keliatan chubby sekarang. Makin sehat ya?”
“Hahaa..iya, lumayan nih.”

--end of conversation

Itu percakapan terbaru dengannya di whatsapp, tepatnya 2 hari lalu. Media boleh berganti: sms, yahoo messenger, facebook chat, BBM, dan kini whatsapp; konten tak pernah berubah. Sependek dan sesederhana itu. Soal kabar, kondisi kesehatan, pekerjaan dan komentar mengenai foto terbaru. Tak lebih, tak kurang. Ajaib!

Saya mengenalnya di penghujung 2003, saat pertama kali bekerja. Dimulai dengan episode macam chicklit: ia mendekati saya, jalan bareng beberapa waktu, things didn't work out between usawkward moments, dan akhirnya berujung berteman baik. Yes, just friends. And yes, I came to his wedding, too. Selepas saya pindah ke pekerjaan lain di akhir 2004, praktis kami jarang sekali bertemu, mungkin setahun sekali di beberapa kesempatan tertentu. Terakhir, saya bertemu dengannya awal 2009 lalu di pemakaman seorang teman.

Di tahun-tahun pertama sejak terpisah, terkadang kami bisa mengobrol (baca: online chat) panjang. Namun seiring dengan waktu dan kesibukan, tak lagi. Saya tak ingat kapan bercerita mengenai remaja Lupus kepadanya. Namun saya ingat, saya bercerita kepadanya karena beberapa kali ia menghubungi saat saya ‘kebetulan’ sedang sakit atau dirawat di rumah sakit. Sejak itu, resmi dimulainya percakapan-percakapan super pendek macam di atas. Setidaknya 3-4 bulan sekali. Oia, dan tak pernah disertai penutup resmi macam “Bye”, “See u later” dan sejenisnya. Begitu saja. Cukup.

Di kepala saya, ia macam sang dokter saja. Melakukan pengecekan rutin. Atau lebih ekstrem, macam petugas polisi yang mengawasi terpidana yang dibebaskan dan berada dalam masa percobaan (Oke, hal ini terlintas setelah menonton film Double Jeopardy-nya Ashley Judd dan Tommy Lee Jones). Bedanya, ia yang mengecek kondisi saya dan bukan sebaliknya ala wajib lapor bagi terpidana dalam masa percobaan. Ha!

Terpikir, kami tak pernah benar-benar berhubungan (baik itu urusan pekerjaan atau lainnya) selama beberapa tahun ini. Bahkan, hampir tak pernah berkomunikasi di luar percakapan 'rutin' di atas. Mungkin, kami pun tak akan pernah bertemu lagi. Sejujurnya, ia tak punya ‘kewajiban’ atau ‘keharusan’ untuk melakukan kebiasaan yang ia lakukan selama ini. But he did anyway. For years now. And am grateful for that.  

So yes, this one is for you.
Thank you. 
You know who you are.
Cheers!

No comments:

Post a Comment