ADA yang bilang salah satu tanda seorang sahabat adalah ketika ia akan mengerti dan menerima kita apa adanya, tanpa kita perlu menjelaskan segala sesuatu tentang diri kita kepadanya. Namun akan tiba saatnya, kita harus menjelaskan bagaimana rasanya hidup dengan Lupus bahkan kepada seorang sahabat.
Oh, andaikan ada tulisan di jidat ini yang bisa terlihat segenap orang agar mencari tahu sendiri daripada bertanya langsung. Tapi tentunya hal macam ini tak ada. Karena percayalah, lelah loh menjelaskan perihal satu ini berulang-ulang setiap kali ada yang bertanya. Sialnya, ada banyak memang yang bertanya. Mereka yang kebetulan tahu saya dirawat di rumah sakit, saudara, rekan kerja yang sadar saya tidak masuk berminggu-minggu, klien, boss (pastinya), pasien yang ngajak ngobrol di ruang tunggu rumah sakit pas kontrol, teman jalan, daaann...sahabat.
Setiap kali ditanya, jawabannya pun apa adanya dari berbagai sumber medis yang saya baca. Gak menarik deh. Sayangnya, jawaban by the book pun tampaknya tak pernah berhasil memuaskan keingintahuan penanya. Yah, walaupun kalau mau jujur rasanya ingin bilang.."tenang aja, saya juga gak puas kok dengan semua penjelasan medis yang ada". Karena memang, penjelasan itu gagal menggambarkan dengan sempurna (bahkan nyaris pun tidak) bagaimana Lupus mempengaruhi hidup seseorang..saya.
"Emang apa penyebabnya?"
"Belum diketahui pasti."
"Trus obatnya apa?"
"Gak ada."
"Lah, trus gimana sembuhnya?"
"Treatment, biar gak kambuh. Dikasih obat untuk gejala-gejala yang muncul, tapi dia bakal ada seumur hidup."
"Tapi kok lo gak keliatan sakit?"
Dang! xkj@w!q#%!!
--------
Oh, percayalah..momen ini tak ada matinya. Dejavu? Banget! Berbekal frustasi dan sedikit (atau banyak) sebal, akhirnya saya berpaling ke mereka yang senasib di dunia maya sana. Dan ya..kami memang senasib. Harus menghadapi dan bertahan dari pertanyaan dan komentar-komentar macam itu. Lalu bagaimana menjelaskannya secara adil dan mendekati kenyataan apa yang kami rasakan (dan bukan hanya berdasarkan logika medis)?
Jawabnya : THE SPOON THEORY oleh Christine Miserandino.
Teori ini lahir dari Christine yang harus menjawab pertanyaan sahabatnya mengenai bagaimana rasanya hidup dengan Lupus. Ketika semua penjelasan medis maupun trik jawab sekenanya sambil lalu, ngelucu dan ngeles tak lagi mempan, ia muncul dengan cara kreatif dan spontan untuk menjelaskannya. Menggunakan sendok. Ya, sendok.
Kira-kira begini. Ia melambangkan amunisi energi yang setiap orang miliki dengan sendok. Mereka yang sehat pada dasarnya tak perlu mengkhawatirkan hal ini, karena mereka memiliki amunisi energi yang berlimpah. Yang artinya, kesempatan untuk melakukan apa saja yang juga berlimpah. Sedangkan dirinya (hidup dengan Lupus) harus pintar-pintar berhemat agar bisa melakukan seluruh aktivitas rutinnya setiap hari tanpa kehabisan amunisi.
Ia lalu memberikan 12 sendok kepada sahabatnya yang melambangkan amunisi energi yang dimiliki seseorang dengan Lupus setiap hari. Setiap aktivitas yang dilakukan dalam sehari, sekecil apa pun: bangun tidur, mandi, berpakaian, menyiapkan sarapan, hingga pulang ke rumah akan memakan energi/sendok. Supaya tak kehabisan, mau tak mau harus punya strategi. Rutinitas yang umumnya dilakukan orang tanpa pikir panjang bisa jadi pe-er panjang buat Christine. Segala sesuatunya dipertimbangkan masak-masak. Beberapa hal pun terpaksa dikorbankan, demi menjaga bekal amunisi tetap tersedia hingga saat pulang ke rumah dan beristirahat. Habis amunisi sama saja habis kesempatan melakukan apa pun. Begitu setiap hari.
--------
Ya, rasanya itulah mengapa pasien Lupus lebih umum disebut "orang yang hidup dengan Lupus". Karena itulah intinya...bukan menjalani kondisi sakit kemudian beristirahat untuk diobati dan penyakit hilang, namun terus menjalani hidup. Memodifikasinya, membuat pilihan-pilihan, menjalaninya. One spoon at a time.
The Spoon Theory: http://www.butyoudontlooksick.com/articles/written-by-christine/the-spoon-theory/
Oh, andaikan ada tulisan di jidat ini yang bisa terlihat segenap orang agar mencari tahu sendiri daripada bertanya langsung. Tapi tentunya hal macam ini tak ada. Karena percayalah, lelah loh menjelaskan perihal satu ini berulang-ulang setiap kali ada yang bertanya. Sialnya, ada banyak memang yang bertanya. Mereka yang kebetulan tahu saya dirawat di rumah sakit, saudara, rekan kerja yang sadar saya tidak masuk berminggu-minggu, klien, boss (pastinya), pasien yang ngajak ngobrol di ruang tunggu rumah sakit pas kontrol, teman jalan, daaann...sahabat.
Setiap kali ditanya, jawabannya pun apa adanya dari berbagai sumber medis yang saya baca. Gak menarik deh. Sayangnya, jawaban by the book pun tampaknya tak pernah berhasil memuaskan keingintahuan penanya. Yah, walaupun kalau mau jujur rasanya ingin bilang.."tenang aja, saya juga gak puas kok dengan semua penjelasan medis yang ada". Karena memang, penjelasan itu gagal menggambarkan dengan sempurna (bahkan nyaris pun tidak) bagaimana Lupus mempengaruhi hidup seseorang..saya.
"Emang apa penyebabnya?"
"Belum diketahui pasti."
"Trus obatnya apa?"
"Gak ada."
"Lah, trus gimana sembuhnya?"
"Treatment, biar gak kambuh. Dikasih obat untuk gejala-gejala yang muncul, tapi dia bakal ada seumur hidup."
"Tapi kok lo gak keliatan sakit?"
Dang! xkj@w!q#%!!
--------
Oh, percayalah..momen ini tak ada matinya. Dejavu? Banget! Berbekal frustasi dan sedikit (atau banyak) sebal, akhirnya saya berpaling ke mereka yang senasib di dunia maya sana. Dan ya..kami memang senasib. Harus menghadapi dan bertahan dari pertanyaan dan komentar-komentar macam itu. Lalu bagaimana menjelaskannya secara adil dan mendekati kenyataan apa yang kami rasakan (dan bukan hanya berdasarkan logika medis)?
Jawabnya : THE SPOON THEORY oleh Christine Miserandino.
Teori ini lahir dari Christine yang harus menjawab pertanyaan sahabatnya mengenai bagaimana rasanya hidup dengan Lupus. Ketika semua penjelasan medis maupun trik jawab sekenanya sambil lalu, ngelucu dan ngeles tak lagi mempan, ia muncul dengan cara kreatif dan spontan untuk menjelaskannya. Menggunakan sendok. Ya, sendok.
Kira-kira begini. Ia melambangkan amunisi energi yang setiap orang miliki dengan sendok. Mereka yang sehat pada dasarnya tak perlu mengkhawatirkan hal ini, karena mereka memiliki amunisi energi yang berlimpah. Yang artinya, kesempatan untuk melakukan apa saja yang juga berlimpah. Sedangkan dirinya (hidup dengan Lupus) harus pintar-pintar berhemat agar bisa melakukan seluruh aktivitas rutinnya setiap hari tanpa kehabisan amunisi.
Ia lalu memberikan 12 sendok kepada sahabatnya yang melambangkan amunisi energi yang dimiliki seseorang dengan Lupus setiap hari. Setiap aktivitas yang dilakukan dalam sehari, sekecil apa pun: bangun tidur, mandi, berpakaian, menyiapkan sarapan, hingga pulang ke rumah akan memakan energi/sendok. Supaya tak kehabisan, mau tak mau harus punya strategi. Rutinitas yang umumnya dilakukan orang tanpa pikir panjang bisa jadi pe-er panjang buat Christine. Segala sesuatunya dipertimbangkan masak-masak. Beberapa hal pun terpaksa dikorbankan, demi menjaga bekal amunisi tetap tersedia hingga saat pulang ke rumah dan beristirahat. Habis amunisi sama saja habis kesempatan melakukan apa pun. Begitu setiap hari.
--------
Ya, rasanya itulah mengapa pasien Lupus lebih umum disebut "orang yang hidup dengan Lupus". Karena itulah intinya...bukan menjalani kondisi sakit kemudian beristirahat untuk diobati dan penyakit hilang, namun terus menjalani hidup. Memodifikasinya, membuat pilihan-pilihan, menjalaninya. One spoon at a time.
The Spoon Theory: http://www.butyoudontlooksick.com/articles/written-by-christine/the-spoon-theory/
No comments:
Post a Comment